Rabu, 01 Juli 2009

Pria Peduli Kesehatan Setelah Sakit.

KAUM pria pada umumnya kurang peduli terhadap kesehatannya dan baru menyadari atau menyesali atas kesalahan dalam menjaga kesehatannya setelah jatuh sakit. Jika kondisi tersebut terus berlangsung, dikhawatirkan akan memperburuk kualitas kehidupan pria dan menjadi masalah.
Apalagi saat ini usia harapan hidup meningkat, sehingga pria usia lanjut akan semakin bertambah pula. Orang yang rawan terhadap penyakit, selain anak-anak adalah orangtua, kata Direktur Utama RS Cipto Mangunkusumo, Prof Akmal Taher, MD, PhD, yang juga menjadi Ketua Asia Pacific Society for the Study of the Aging Male (APSSAM), kemarin.
Oleh karena itu organisasi seminat APSSAM berupaya merumuskan bagaimana orang terutama kaum pria, diusia tua dapat hidup berkualitas dan produktif. Artinya pada usia lanjut pria tetap sehat dan bermartabat, kata Akmal.
Organisasi yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu (multi disiplin) ini, akan menggelar Kongres ke-4 APSSAM di Nusa Dua, Bali, pada 3 Mei hingga 5 Mei 2007. Agendanya antara lain membahas perlunya penanganan kesehatan pria usia lanjut, sexual disfunction, fitnes dan gaya hidup, kesehatan prostat, rasa nyeri, osteoporosis, dan masalah penyakit jantung.
Menurut Akmal, semakin tua usia, orang akan berisiko mengidap berbagai penyakit yang dapat mengurangi produktivitasnya, seperti serangan jantung, gangguan paru-paru, diabetes, osteoporosis, katarak, pendengaran berkurang, termasuk gangguan seksualnya.
Penyakit pada usia lanjut juga lebih spesifik. Namun, untuk gangguan seksual seperti disfungsi ereksi, orang sering termakan oleh promosi iklan yang gencar, seolah-olah dapat memperkuat vitalitas bahkan orang tergiur karena ingin merasa muda kembali.
Kita harus punya riset untuk membuktikannya, karena gangguan itu bisa saja disembuhkan secara psikologis atau hanya dengan merubah gaya hidup misalnya tidak merokok dan olah raga teratur, ujar Akmal.
Rasa nyeri yang diderita orang usia lanjut pun, menjadi masalah dan tidak boleh dianggap remeh. Sebab, rasa nyeri tersebut bisa merupakan manifestasi penyakit orangtua. Sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut.
Selain perlu penanganan khusus bagi para lanjut usia, Akmal menilai perlu asuransi bagi usia lanjut seperti di negara maju. Maka, di bidang ini juga memerlukan ahli dari multidisplin ilmu untuk menanganinya.
Untuk meningkatkan kesehatan pria, Akmal mengatakan beberapa cara, antara lain melibatkan dokter dan masyarakat, memotivasi dokter untuk memberikan perhatian lebih kepada pasien pria yang sering tidak mau terbuka, dan mendidik masyarakat pria agar peduli tentang kesehatannya.
Pria perlu disadarkan bahwa tidak perlu malu mengakui kekurangan jika merasakan keluhan kesehatan, agar cepat diatasi. Jangan sampai sudah fatal baru periksa. Dan yang sering terjadi pria baru sadar apa yang dilakukan setelah jatuh sakit, kata Akmal.

Selasa, 23 Juni 2009

Regulasi Bidang Kesehatan Sangat Lemah

Regulasi bidang kesehatan di Indonesia hingga kini dinilai masih sangat lemah dan perlu dibenahi serta ditingkatkan fungsinya dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan.
Menurut penelitian yang dilakukan di empat provinsi, regulasi adalah fungsi pemerintah yang paling tidak dijalankan dibandingkan pelayanan kesehatan dan pembiayaan, kata ahli dari Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Laksono Trisnantoro seperti dilansir Antara, di Jakarta, Senin (30/4).
Dalam seminar tentang implikasi pemberlakuan regulasi kesehatan internasional (International Health Regulation/IHR) di Indonesia, ia mengatakan, hal itu terlihat dari minimnya jumlah peraturan daerah yang berisi ketentuan mengenai kesehatan.
Ia menjelaskan, menurut penelitian yang dilakukan di Kalimantan Timur, Padang, Bali dan Yogyakarta, peraturan dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan pun jarang sekali diterjemahkan menjadi peraturan daerah.
Menurut dia, sistem kesehatan nasional pun kurang memperhatikan soal regulasi. Didalamnya bahkan sama sekali tidak ada kata regulasi, katanya.
Kegiatan penyusunan regulasi, katanya, juga tidak menjadi prioritas pemerintah karena dianggap tidak punya keluaran yang jelas sehingga alokasi anggaran untuk kegiatan itu juga sangat rendah.
Anggaran untuk penyusunan regulasi baik di tingkat pusat maupun daerah, katanya, bervariasi antara Rp20 juta hingga Rp250 juta per tahun. Itu terhitung sangat minim karena untuk menyusun sebuah regulasi diperlukan pembahasan dan sosialisasi yang membutuhkan waktu lama, jelasnya.
Dia menjelaskan pula bahwa, penegakan peraturan perundangan tentang kesehatan yang telah diberlakukan juga tidak optimal. Undang-undang nomor 4 tahun 1984 tentang wabah misalnya, meski sudah diberlakukan sejak lama tapi sampai saat ini tidak jalan, tuturnya.
Lemahnya fungsi regulasi kesehatan, kata dia, menyebabkan sistem surveilans (pemantauan penyakit-red) di daerah hampir tidak berjalan dan sistem surveilans di tingkat pusat kurang optimal.
Sistem pelaporan, pengiriman dan pengolahan data epidemiologi serta timbal balik dari kegiatan itu, ia menjelaskan, juga tidak berjalan dengan baik. Dan kami khawatir ini akan menjadi masalah dengan adanya tuntutan dari pemberlakuan ketentuan global, jelasnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan, ke depan pemerintah harus memperkuat fungsinya sebagai regulator dan menguatkan kapasitas regulasi di tingkat provinsi serta kabupaten/kota.
Pemerintah harus punya program multi tahun terkait pembuatan standar penyusunan regulasi, pelatihan sumber daya manusia di daerah dan penegakan pelaksanaan aturan perundangan, demikian Laksono.

****Si Miskin Di Larang Sakit***

SUNGGUH sangat memilukan. Tangis ibu-ibu pendemo itu pecah di halaman Kantor Badan Pemeriksa Keuangan, pekan silam, saat mempertanyakan nasib mereka. Mengapa dana asuransi kesehatan senilai Rp7,6 triliun tak pernah bisa mereka nikmati.
Ibu-ibu itu hanyalah bagian kecil dari 60 juta lebih warga miskin yang semestinya berhak memperoleh jaminan kesehatan. Jaminan yang memang dianggarkan pemerintah dengan program Askeskin atau Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin.
Dan sejak dua tahun silam sudah ada Rp7,6 triliun uang negara dianggarkan untuk itu. Sayangnya, program tersebut dinilai bocor di sana sini. Lantaran itulah, warga miskin ini meminta BPK mengaudit penggunaan dana Askeskin itu seterang-terangnya.
Hasil penelusuran di lapangan memang terjadi berbagai ketidakberesan dalam pelayanan Askeskin. Berbagai keluhan pun muncul ke permukaan. Mulai dari adanya praktik percaloan, jual beli kartu Askeskin, lamanya mengurus surat hingga masih adanya pasien Askeskin atau keluarga miskin yang diminta membayar obat atau tindakan medis oleh sejumlah rumah sakit.
Penolakan seperti itulah yang harus dialami Fatulloh. Kakek berusia 70 tahun dengan tumor di kaki itu terpaksa gigit jari ketika dirinya berharap mendapat pengobatan segera. Padahal, ia sudah membekali diri dengan surat keterangan tidak mampu dan persyaratan administratif lainnya.
Mestinya, dengan berbekal surat miskin dan syarat administratif lainnya itu, Fatulloh dijamin mendapat pengobatan gratis melalui program Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat yang ditelurkan Departemen Kesehatan pada tahun 2005, bahkan dicanangkan sejak 2000.
Sebagaimana diberitakan, rumah sakit di Jakarta dan Bandung, ternyata si miskin tak sepenuhnya bisa menikmati program yang dikenal dengan nama Askeskin ini. Tengoklah keadaan seorang pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat.
Sudah dua pekan, Nyonya Saeni terbaring di ruang perawatan kelas tiga di rumah sakit tersebut. Bangsal ini memang sengaja disediakan pihak rumah sakit untuk merawat pasien tidak mampu. Berasal dari Karawang, Jawa Barat, suami Saeni, Mulyadi, adalah korban pemutusan hubungan kerja. Ia tak sanggup membiayai pengobatan istrinya.
Berbekal surat keterangan tidak mampu, Mulyadi mengalami perlakuan cukup baik dan tidak dipungut biaya. Mulai dari pendaftaran, perawatan hingga istrinya masuk bangsal. Belakangan, dokter rumah sakit memberikan beberapa resep di luar jaminan PT Asuransi Kesehatan (Askes). Walaupun koceknya tipis, Mulyadi terpaksa membeli resep itu di apotek rumah sakit.
Kisah serupa dialami pasien penderita thalassemia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakarta Pusat. Di rumah sakit pelat merah itu, ternyata masih ada obat-obat tertentu yang harus dibayar oleh pasien tidak mampu.
Disambut gembira
Diluncurkan dua tahun silam, program Askeskin disambut gembira kaum miskin yang berharap mendapat pengobatan gratis. Sesuatu yang selama ini hanya impian belaka. Ketika itu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berharap semua pasien miskin tak memperoleh kesulitan manakala berurusan dengan pihak rumah sakit Dua tahun kemudian para pasien miskin mulai memenuhi antrean di rumah sakit untuk dilayani lewat program Askeskin. Bagi sebagian besar warga miskin, Askeskin bak kartu sakti untuk lepas dari kesengsaraan dan mendapatkan pelayanan gratis.
Saking saktinya kartu ini, mereka yang tadinya mampu berupaya mendapatkan dengan berbagai cara. Tapi, jadilah bukan hanya si miskin yang menikmati pelayanan gratis di rumah sakit. Orang yang bukan tergolong miskin boleh jadi turut merasakannya.
Salah satunya adalah Aminudin. Sudah lima bulan, Aminudin terbaring di ruangan perawatan intensif (ICU) Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Masuk rumah sakit pada 12 Januari silam, Aminudin merupakan pasien rujukan dari RS Al-Islam, Bandung. Pertama kali masuk, lelaki itu tercatat sebagai pasien non-Askes dan terdaftar di kelas satu.
Setelah tiga bulan dirawat, biaya pengobatan yang harus dikeluarkan pihak keluarganya mencapai 70 juta rupiah. Aminudin yang mengalami trauma di kepala dan kesulitan bernapas, juga tak bisa dipastikan waktunya bisa keluar dari ruang perawatan intensif.
Dengan berbagai kondisi itu, tiba-tiba saja pada 7 Maret silam, status Aminudin berubah dari pasien umum non-Askes kelas satu menjadi pasien Askeskin. Perubahan seperti sulap ini dibuktikan dengan lengkapnya persyaratan administratif yang menyatakan Aminudin merupakan pasien miskin. Nah, sejak saat itulah, laki-laki itu berhak mendapatkan pengobatan gratis di RS Hasan Sadikin.
Aminudin, yang tinggal di pinggiran kawasan perumahan terkenal di Bandung, sekilas pandang memang tak ada tanda-tanda bahwa pasien tersebut masuk kategori miskin dan berhak mendapatkan Askeskin.
Fasilitas seperti yang didapat Aminudin itu mungkin tak terbayangkan oleh Kohir. Setiap hari, Kohir mengumpulkan sampah di bekas Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Ayah tujuh anak yang sekarang berusia 56 tahun itu sudah sejak tahun 80-an jadi pemulung.
Ayah Kohir yang kini berumur hampir 70 tahun sudah tujuh tahun menderita sakit. Selama itu pula, kakek renta ini hanya dirawat di rumah dengan obat seadanya. Berkali-kali petugas pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas meminta agar sang pasien dibawa ke rumah sakit.
Hanya saja, dengan penghasilan sebesar lima ribu rupiah per hari, Kohir tak sanggup membiayai perawatan sang ayah. Ingar bingar Askeskin dan pengobatan gratis bagi kaum miskin sama sekali tak pernah didengar sang pemulung itu.
Jadi, ada pasien miskin yang tak mendapat pelayanan, sementara ada pasien mampu yang justru mendapat kartu Askeskin. Kontras itu diakui menjadi salah satu bentuk penyimpangan dalam program Askeskin. Proses verifikasi peserta yang tidak sempurna diduga kuat menjadi penyebabnya.(otto sutoto)

Minggu, 21 Juni 2009

Kataku-katamu


Bijak-bijaklah kamu ............


Kesehatan dan Komitmen Aktor Politik

Tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan adalah masalah politik. Makanya, untuk memecahkannya pun diperlukan komitmen politik.

Fran Baum (2008) seorang sosiolog Australia yang juga konsultan kesehatan WHO yang menangani masalah-masalah kesehatan dalam perspektif sosial (social determinant of health), dalam bukunya the New Public Health mengatakan bahwa masalah kesehatan bukan lagi hanya masalah yang berkaitan teknis medis. Sebaliknya, masalah kesehatan sudah memasuki area yang bersifat sosial, ekonomi dan politik.

Namun sayangnya, untuk memecahkan masalah tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Aktor politik kesehatan belum mampu meyakinkan bahwa kesehatan adalah investasi, sektor produktif dan bukan sektor konsumtif. Praktisi kesehatan juga belum mampu memperlihatkan secara jelas yang dapat mempengaruhi para pemegang kebijakan tentang manfaat investasi bidang kesehatan yang dapat menunjang pembangunan negara.

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pemecahan masalah kesehatan tak dapat diselesaikan di bangsal-bangsal rumah sakit ataupun ruang tunggu poliklinik dan puskesmas, melainkan masalah kesehatan harus diselesaikan di kantor departemen kesehatan, dinas kesehatan, kantor bupati/walikota, gubernur dan bahkan yang lebih penting lagi, harus diselesaikan di gedung parlemen, mulai tingkat pusat hingga kabupaten/kota.
Aktor politik yang dimaksudkan adalah presiden, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR RI, DPD dan DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk mewujudkan visi misi kesehatan Indonesia diperlukan penguatan komitmen politik yang serius oleh aktor politik, baik pusat maupun daerah dari Sabang sampai Merauke.
tulisan di kutip dari Sukri Palutturi